Istriku Selingkuh


Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum, Ustadz.
Baru-baru ini keluarga yang telah kami bina selama 8 tahun mengalami badai. Istriku  dengan orang lain. Lebih menyakitkan lagi, dia kedapatan sedang mengandung. Menurut dokter, usia kandungannya sudah 5 atau 6 minggu. Sedangkan saya merasa tiap kali berhubungan selalu menggunakan alat pengaman (maaf, kondom). Setelah didesak, istri saya mengaku telah melakukan perbuatan terkutuk tersebut dengan orang lain. Hati saya hancur saat itu, tetapi saya tidak sampai hati pada dua anak kami yang masih kecil-kecil. Anak saya baru 7 tahun dan 3 tahun; keduanya perempuan. Istri saya (menyatakan) menyesal dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Dan saya telah memaafkan dan menerimanya kembali, dengan syarat mau menggugurkan bayi hasil perbuatan terkutuknya, karena saya takut kalau bayi tersebut lahir, saya tidak dapat menahan diri dan selalu mengingat peristiwa tersebut. Yang saya tanyakan, berdosakah saya menyuruh istri saya melakukan, dan apa yang harus saya lakukan sekarang? sampai sekarang, hanya saya dan istri saya yang mengetahui hal ini, mohon jawabannya supaya saya tidak dihantui perasaan berdosa. Terima kasih.


NN (**@yahoo.co.id)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah.
Aborsi dengan sengaja, hukumnya haram. Bayi itu sama sekali tidak bersalah. Menggugurkannya sama dengan berbuat zalim kepadanya.
Tidak kami sarankan untuk mempertahankan istri atau suami yang berzina. Syekh Dr. Anis Thahir, pengajar di Masjid Nabawi dan merupakan seorang ulama ahli hadis, mengatakan, “Saya wasiatkan para suami untuk sabar dengan kekurangan istrinya, kecuali dalam tiga hal:
  1. Istri memiliki akidah yang rusak (kemusyrikan);
  2. Tidak mau ;
  3. Berzina.
==
Aborsi dengan sengaja, hukumnya haram. Bayi itu sama sekali tidak bersalah. Menggugurkannya sama dengan berbuat zalim kepadanya. Ingatlah firman Allah,
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ.9
“Ingatlah apabila para bayi wanita perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya. Dosa apakah yang menyebabkan dia harus dibunuh.”(QS. At-Takwir: 8 – 9)
Jawaban apakah yang akan kita persiapkan untuk pertanyaan di atas? Ketika kita berada di hadapan Dzat Yang Maha Adil, yang akan membalas setiap tindakan hamba-Nya sesuai dengan amalnya.
Jika anda keberatan untuk menceraikan, anda boleh mempertahankan istri anda. Dan pastikan bahwa istri anda telah bertaubat. Kemudian untuk status anak yang berada di kandungan adalah anak anda, karena andalah suaminya. Meskipun bisa jadi -bukan menuduh- anak itu sejatinya adalah hasil hubungan  dengan lelaki lain.
Dalilnya, dari A’isyah radliallahu ‘anha, dulu Utbah bin Abi Waqqas berpesan kepada saudaranya Sa’d bin Abi Waqqas, bahwa anak budaknya Zam’ah adalah anakku maka ambillah. Di masa penaklukan kota Mekah, Sa’d mengambil anak tersebut. Tiba-tiba Abd bin Zam’ah angkat suara, ‘Dia saudaraku, anak budak bapakku. Dia dilahirkan ketika si wanita tersebut menjadi budak bapakku.’
Akhirnya keduanya berdebat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sa’d berkata, ‘Dia anak saudaraku, lihatlah betapa miripnya dengan saudaraku. Kemudian Abd bin Zam’ah membela, ‘Dia saudaraku, anak dari budak bapakku, ketika ibunya menjadi pasangan ayahku.’
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan, ‘Anak ini milikmu wahai Abd bin Zam’ah.’ Lalu Beliau bersabda,
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلعَاهِرِ الحَجْرُ
“Anak itu menjadi hak pemilik firasy, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian.” (HR. Bukhari dan muslim)
Maksud hadis:
Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang lelaki maka wanita tersebut menjadi firasybagi si lelaki. Selanjutnya lelaki ini disebut “pemilik firays”. Selama sang wanita menjadi firasy lelaki maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil selingkuh yang dilakukan sang istri dengan lelaki lain.
Sedangkan lelaki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikitpun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain. (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10: 37)
Allahu a’lam.